Semua amal anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu, kecuali shaum. Maka sesungguhnya shaum itu semata-mata untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya (Hr. Bukhari Muslim).

Puasa tidak hanya mengatur umat Islam untuk menghentikan makan dan minum saja, tetapi lebih dalam untuk mengendalikan semua panca indera dari perbuatan yang dilarang Allah SWT. Pengendalian hawa nafsu atau syahwat merupakan suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Ini adalah proses latihan panjang yang tidak terjadi begitu saja, meskipun seseorang telah mengetahui ilmunya. Puasa mengajarkan kita untuk bekerja keras dalam menahan diri dan mengekang keinginan yang sering kali mengarah pada perbuatan yang tercela.

Dalam suatu kisah dalam kitab Tanbihul Ghafilin, terdapat penjelasan yang mendalam tentang betapa sulitnya hawa nafsu untuk mengikuti perintah Allah. Allah berfirman: “Wahai akal, menghadaplah.” Ketika akal menghadap, Allah bertanya, “Hai akal, siapakah Aku dan siapakah dirimu?” Akal pun menjawab, “Engkau adalah Tuhanku yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu.” Allah kemudian menegaskan posisi akal dengan menyatakan bahwa tidak Dia ciptakan makhluk yang lebih mulia selain akal itu sendiri.

Namun, ketika Allah menciptakan nafsu dan memerintahkan untuk menghadap, nafsu tidak menjawab. Allah bertanya lagi, “Siapakah engkau dan siapakah Aku?” Nafsu jawab dengan tegas, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau,” seolah tidak ingin tahu tentang kebenaran yang seharusnya dia akui. Keberanian nafsu untuk menolak pengakuan ini kemudian membuat Allah murka, yang mengakibatkan nafsu dijebloskan ke neraka selama seratus tahun sebelum akhirnya dikeluarkan. Ketika Allah bertanya kembali, nafsu kembali memberi jawaban yang sama. Ini berlanjut hingga Allah memasukkan nafsu ke dalam neraka lagi selama seratus tahun sampai nafsu akhirnya menyadari siapa dirinya dan mengakui kedudukan Allah.

Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa dengan sebab itulah maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa. Kisah ini memberikan kita hikmah tentang betapa membangkangnya nafsu. Apabila seseorang tidak bisa mengendalikan (mengawal) nafsunya, maka ia akan mengalami kerugian yang sangat besar. Dalam konteks ini, puasa muncul sebagai sarana untuk membantu umat Islam belajar mengendalikan diri, menahan hawa nafsu, dan meraih ketenangan jiwa.

Ada beberapa latar belakang mengapa Allah memerintahkan kita untuk dapat mengendalikan hawa nafsu. Hal pertama adalah bentuk kasih sayang Allah kepada manusia itu sendiri. Mengikuti hawa nafsu sama halnya dengan mendzalimi diri sendiri. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak mampu menahan syahwat mereka sering kali terjebak dalam kenistaan dan perilaku tercela. Ini adalah peringatan yang penting bagi kita semua untuk tidak membiarkan hawa nafsu menguasai diri kita.

Kedua, untuk mengukuhkan kembali jati diri manusia sebagai makhluk yang sempurna yang memiliki derajat kemulian yang berbeda dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam pandangan Ibnu Qoyim al-Jauziyah, manusia memiliki kedudukan unik antara malaikat dan binatang. Dalam kitab Thariqul Hijratain wa Baabus Sa’adatain, dijelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk dalam beberapa kelompok: pertama, malaikat yang berakal tanpa dilengkapi syahwat, kedua, hewan yang memiliki syahwat tanpa akal, dan ketiga, manusia yang dilengkapi baik akal maupun nafsu syahwat. Manusia, dengan berbagai keragaman karakter dan potensi, mendapatkan ujian dan cobaan yang pada akhirnya memberikan peluang bagi mereka untuk meraih pahala atau siksa dari Allah.

Dengan demikian, penting bagi setiap individu untuk memahami peran puasa dan pengendalian hawa nafsu dalam kehidupan mereka. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan ibadah, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan akhlak yang mulia. Puasa yang dijalankan dengan kesadaran akan hakikat ini akan membawa dampak positif pada diri sendiri dan lingkungan sekitar, serta mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.

wallahu a’lam

3 responses

  1. sawijining menungsa Avatar

    BIsmiLLAH…..
    Maaf, saya yang miskin Ilmu ini menyimpan Data di memori saya tentang Nafsu. Bahwasannya, Nafsu itu memiliki status ‘Bodoh’. sebagaimana yang Anda sampaikan; “Namun, ketika Allah menciptakan nafsu dan memerintahkan untuk menghadap, nafsu tidak menjawab. Allah bertanya lagi, “Siapakah engkau dan siapakah Aku?” Nafsu jawab dengan tegas, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau,”
    Jawaban Nafsu yang hanya mengulang pertanyaan dari ALLAH itulah yang saya fahami sebagai kebodohannya. Logis bagi saya, manakala dalam diri Manusia -Al Insan- ( An Nafss ) iitu memang pernah ALLAH lekatkan ‘label’ Dholuman Jahulan. Sehingga Aql ( Akal ) ALLAH Letakkan pada diri Al Insan untuk ‘Memimpin’ An Nafsun. Nafsu yang bodoh ini dengan bahasa lain saya fahami sebagai ‘Netral’, artinya bisa mendorong perbuatan Baik ( Nafsul Lawamah, Nafsu Muthmainah ). tapi juga perbutan buruk. ALLAH Memasukkan kedalam Nafs itu jalan keTaqwaan juga jalan KeBurukan ( Fujuraha ). Maka, beruntunglah Orang yang membersihkan Jiwa ( Nafsu )nya . Manusia akan kembali pada ‘status’ dholuman jahulan ( sesat dan bodoh ), manakala dia ( manusia ) tidak mau memBersihkan Nafsunya dan tidak menggunakan. Karna hanya Nafsu yang Bersih dari ‘kotoran’lah yang mau ( support-kompatibel ) terhadap-menggunakan Aqlnya… waLLAHU A’lam…

    Salaam……

    1. mahendraza Avatar

      terima kasih pencerahannya

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.