Latar Belakang

    Dalam rangka memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2025, penting bagi bangsa ini untuk merefleksikan kembali fondasi historis dan kebudayaan yang membentuk jati diri serta karakter kebangsaan Indonesia. Proses panjang pembentukan bangsa tidak hanya dimulai sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, melainkan merupakan akumulasi dari peradaban-peradaban besar yang pernah tumbuh di wilayah Nusantara. Salah satu fase penting dalam sejarah tersebut adalah keberadaan Kerajaan Majapahit dan proses masuknya Islam ke Nusantara, yang masing-masing memberi kontribusi besar dalam membentuk struktur sosial, nilai-nilai budaya, dan sistem kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

    Pembahasan mengenai Kerajaan Majapahit tidak dapat dilepaskan dari peran Kerajaan besar sebelumnya, yakni Sriwijaya, yang berdiri sejak abad ke-7 hingga ke-13. Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang kuat, menguasai jalur perdagangan strategis seperti Selat Malaka dan Selat Sunda. Keberhasilannya dalam menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan negara-negara seperti Tiongkok dan India menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pertukaran budaya dan agama yang penting di kawasan Asia Tenggara. Dominasi Sriwijaya dalam perdagangan turut memperkuat pengaruh kebudayaan dan agama di wilayah kekuasaannya, serta memberikan fondasi penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan besar setelahnya.

    Pasca runtuhnya Sriwijaya, muncul Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 dan mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389) dengan dukungan mahapatih Gajah Mada. Majapahit merupakan kerajaan yang berhasil menyatukan wilayah Nusantara dan bahkan meluaskan pengaruhnya ke sebagian kawasan Asia Tenggara. Selain unggul dalam kekuatan militer dan strategi dagang, Majapahit juga menjadi pusat peradaban dengan kemajuan pesat dalam seni, sastra, ilmu pengetahuan, serta sistem ketatanegaraan. Dalam masa kekuasaan kerajaan Majapahit, terlihat kemampuan luar biasa dalam menyatukan berbagai suku, budaya, dan tradisi lokal melalui pendekatan kebudayaan yang inklusif. Sistem ketatanegaraan yang dibangun menjunjung prinsip loyalitas wilayah serta stabilitas sosial, menjadikan Majapahit bukan hanya pusat kekuasaan, tetapi juga pusat budaya yang kaya dan beragam. Warisan ini menjadi fondasi penting dalam pembentukan identitas kebangsaan Indonesia saat ini.

    Menjelang 80 tahun kemerdekaan Indonesia, peran Kerajaan Majapahit dalam pembentukan karakter bangsa tidak dapat diabaikan. Melalui pustaka penting seperti Negarakertagama karya Mpu Prapanca, yang menguraikan pembagian wilayah serta sistem ketatanegaraan, dan Sutasoma karya Mpu Tantular, yang memperkenalkan konsep Bhinneka Tunggal Ika, kita melihat fondasi pemikiran kebangsaan yang kokoh. Tokoh-tokoh seperti Raden Wijaya hingga Raja Kertanegara dikenal bukan hanya karena kepemimpinannya, tetapi juga karena keberanian menghadapi dominasi kekuatan asing seperti Mongol. Hal ini mencerminkan pentingnya pergaulan internasional dan ketangguhan diplomasi Majapahit. Nilai-nilai luhur serta visi kebangsaan yang mereka tanamkan terus menjadi inspirasi bagi pembentukan identitas Indonesia yang beragam dan berdaulat hingga kini.

    Seiring waktu, Majapahit mengalami kemunduran dan pada abad ke-14 hingga ke-15, pengaruh Islam mulai berkembang di wilayah Nusantara. Berbeda dari penyebaran Islam di kawasan lain yang cenderung ekspansif secara militer, di Indonesia Islam masuk secara damai, melalui jalur perdagangan, dakwah, dan akulturasi budaya. Dalam konteks ini, wilayah Hijaz, yang kini menjadi bagian dari Arab Saudi, memegang peran penting sebagai sumber penyebaran nilai-nilai Islam. Hubungan dagang dan spiritual antara Nusantara dan Jazirah Arab menjadikan Makkah dan Madinah sebagai pusat pendidikan dan pelatihan ulama-ulama Nusantara. Banyak tokoh Indonesia yang belajar di Tanah Suci dan membawa pulang pemikiran Islam yang moderat, sehingga turut membentuk corak Islam Nusantara yang ramah, toleran, dan selaras dengan budaya lokal. Ulama besar seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah contoh nyata kontribusi keilmuan yang menghubungkan Indonesia dan Arab Saudi dalam jejaring peradaban Islam global.

    Munculnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Demak, dan Mataram Islam memperkuat kontribusi Islam dalam pembentukan peradaban dan karakter bangsa Indonesia. Perjalanan historis ini membuktikan bahwa identitas kebangsaan Indonesia dibangun dari proses panjang akulturasi dan integrasi nilai-nilai lokal dan universal, bukan dari dominasi atau pemaksaan budaya. Warisan Majapahit dan Islam, jika ditelaah lebih dalam, merupakan sumber inspirasi yang luar biasa bagi penguatan nilai kebangsaan Indonesia di tengah tantangan globalisasi, polarisasi sosial, dan degradasi budaya lokal.

    Kerajaan Islam sudah tentu membawa prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlandaskan kepada ajaran Islam lewat pola kepemimpinan masa Nabi Muhammad Saw dan penerusnya pada masa kekhalifahan. Musyawarah, sebagai metode pola dan pengambilan keputusan bersama, dalam konteks Islam adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam bentuk nyata, Rasulullah mengajak umatnya untuk bermusyawarah terutama pada masa peperangan, di mana setiap keputusan memerlukan pertimbangan matang untuk mencapai kebaikan bersama. Banyak Perang yang dilalui Rasulullah bersama para sahabatnya, yang dalam berbagai keadaannya dapat menciptakan suasana saling menghargai dan berinovasi, sehingga mereka bisa mencapai kemenangan secara kolektif. Lebih jauh lagi, bermusyawarah dapat membawa hidup menjadi lebih baik, tidak hanya di tingkat kepemimpinan, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari, mulai dalam pertemanan yang menguatkan tali persaudaraan, pekerjaan yang meningkatkan produktivitas melalui kolaborasi, serta dalam lingkungan keluarga yang menjadi landasan moral dan spiritual yang tidak kalah pentingnya. Dengan menerapkan prinsip musyawarah, kita dapat menjaga keharmonisan dan mendukung satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikan masyarakat lebih sejahtera dan penuh kasih sayang.

    Forum ini diselenggarakan sebagai ruang reflektif dan dialog untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kebangsaan yang telah tumbuh sejak masa pra-kemerdekaan, sekaligus sebagai bagian dari peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Dengan memahami warisan sejarah secara utuh dan objektif, kita dapat memperkuat komitmen kebangsaan, memperteguh identitas nasional, dan membangun masa depan yang berpijak pada akar budaya dan sejarah bangsa.

    1. Tujuan Kegiatan
    1. Memahami potret sejarah dan budaya yang ditampilkan secara utuh dalam perjalanan bangsa Indonesia mulai dari kerajaan sehingga terbentuknya negara Republik Indonesia.
    2. Memahami bahwa Islam masuk ke Indonesia secara damai, bukan melalui penaklukan seperti yang terjadi di wilayah lain pada masa kekhalifahan Islam dan Turki Usmani.
    3. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sejarah dan budaya lokal sebagai fondasi identitas nasional.
    4. Menggali nilai-nilai ketatanegaraan, keberagaman, dan moderasi dari peradaban masa lalu untuk menjawab tantangan kontemporer.
    5. Menyegarkan kembali hubungan historis Indonesia dengan Arab Saudi dalam konteks keilmuan, keagamaan, dan peradaban.
    6. Terbangunnya jejaring kerja sama lintas sektor untuk pelestarian budaya dan pembinaan karakter bangsa.
    1. Waktu dan Tempat

    Kegiatan rencananya dilaksanakan di Ruang Serbaguna KBRI Riyadh. Waktu akan disesuaikan dengan availability narasumber.

    1. Narasumber dan Peserta

    Kegiatan akan mengundang Kepala Sekolah Indonesia Riyadh beserta masyarakat Indonesia dengan latar belakang terkait selaku narasumber. Adapun kegiatan akan dibuka untuk publik kepada masyarakat.

    • Pertanyaan Pemicu Diskusi
    1. Bagaimana kontribusi Kerajaan Majapahit melalui pelajaran sistem ketatanegaraan dan upayanya mengatur kehidupan bermasyarakat pada masanya itu dapat digunakan untuk memperkuat karakter bangsa Indonesia saat ini?
    2. Bagaimana kontribusi Islam yang masuk ke Indonesia tidak dalam konteks perbenturan atau konflik sehingga dapat menjadi agama mayoritas bangsa Indonesia saat ini yang memunculkan wajah Islam yang moderat menyatu dengan budaya Indonesia yang dikenal dengan Islam Nusantara?
    3. Apa nilai-nilai kebangsaan yang dapat dipetik dari karya-karya seperti Negarakertagama dan Sutasoma, dan bagaimana relevansinya dalam merawat persatuan di era kontemporer?
    4. Dalam konteks hubungan historis antara Nusantara dan Arab Saudi, bagaimana peran ulama dan jaringan keilmuan dari Tanah Suci membentuk corak keislaman Indonesia yang khas dan moderat?
    5. Bagaimana cara memperkuat kembali narasi sejarah nasional yang mencerminkan integrasi nilai-nilai lokal dan universal sebagai bagian dari peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia?

    ***

    Fungsi Pensosbud

    Leave a comment

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.